Minggu, 04 Mei 2014

Etika Bisnis (Bisnis dan Perlindungan Konsumen)



1.       Hubungan Produsen dan Konsumen
Pada umumnya konsumen dianggap mempunyai hak tertentu  dan wajib dipenuhi oleh produsen, yang disebut sebagai hak kontraktual. Hak kontraktual adalah hak yang timbul dan dimiliki seseorang ketika ia memasuki suatu persetujuan atau kontrak dengan pihak lain. Maka, hak ini hanya terwujud dan mengikat orang-orang tertentu, yaitu orang-oramg yang mengadakan persetujuan atau kontrak satu dengan yangt lainnya. Hak ini tergantung dan diatur oleh aturan yang adadalam masing-masing masyarakat.
Ada beberapa aturan yang perlu dipenuhi dalam sebuah kontrak yang dianggap baik dan adil, yang menjadi dasar bagi hak kontraktual setiap pihak dalam suatu kontrak !
a.       Kedua belah pihak mengetahui sepenuhnya hakikat dan kondisi persetujuan yang mereka sepakati.
b.      Tidak ada pihak yang secara sengaja memberikan fakta yang salah atau memalsukan fakta tentang kondisi dan syarat-syarat kontrak untuk pihak yang lain.
c.       Tidak boleh ada pihak yang dipaksa untuk melakukan kontrak atau persetujuan itu.
d.      Kontrak juga tidak mengikat bagi pihak mana pun untuk tindakan yang bertentangan dengan moralitas. Maksudnya, kalau ternyata kontrak itu dimaksudkan untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan moralitas, pihak-pihak tersebut bebas melepaskan dirinya dari kewajiban untuk memenuhi tuntutan dalam kontrak itu. Dengan kata lain, kontrak itu harus dianggap batal.
Pertanyaan yang harus dijawab sekarang adalah apakah hubungan antara produsen dan konsumen adalah juga hubungan kontraktual? Jika hubungan jual beli itu didasarkan pada kontrak tertentu diantara produsen dan konsumen, maka hubungan tersebut merupakan sebiah hubungan kontraktual. Karena itu, masing-masing pihakmempunyai hak dan kewajiban tertentu yang sama-sama harus dipenuhi.
Namun, jawabannya menjadi sulit kalau menyangkut hubungan antara produsen dan konsumen pada umumnya, yang tidak pernah didasarkan pada dan diikat oleh suatu kontrak tertentu. Karena itu, hubungan antara produsen dan konsumenbukan merupakan suatu hubungan kontraktual, sejauh tidak ada kontrak atau persetujuan tertulis diantara kedua belah pihak. Produsen dan konsumen berinteraksi secara anonim. Masing-masing pihak tau bahwa dipihak sana ada pribadi-pribadi tertentu, entah produsen atau konsumen, namun tidak pernah jelas jati diri mereka. Produsen tidak pernah tau secara persis siapa yang akan menjadi konsumennya. Ia hanya menduga dan menebak. Produsen hanya menduga kelompok masyarakat tertentu (eksekutif, wanita, ibu ruamh tangga, anak-anak, dan sebagainya)akan menjadi konsumennya. Namun jati diri konmsumennya tidak diketahui secara persis. Demikian pula konsumen tidak pernah tau secara persis jati diri produsennya, kecuali bahwa barang dan jasa yang dibelinya diproduksi oleh perusahaan tertentu, yang barang kali juga tidak diperdulikan alamatnya kendati tercantum jelas-jelas pada produk yang dibelinya.
Selebihnya tidak ada sebuah ikatan formal dalam bentuk kontrak atau persetujuan diantara produsen dan konsumen. Karena itu, menjadi sangat sulit untuk mengatakan bahwa hubungan antara produsen dan konsumen adalah sebuah hubungan kontraktual.
Atas dasar ini, menurut pendapat ini, ketentuan dan aturan tersebut diatas yang menentukan sebuah hubungan kontraktual yang adil dan atis, tidak berlaku bagi hubungana antara produsen dan konsumen. Demikian pula, tidak ada hak dan kewajiban kontraktual antara produsen dan konsumen.
Karena itu, sebagaimana halnya semua interaksi sosial lainnya, interaksi bisnis antara produsen dan konsumen pun tetap mengenal adanya hak dan kewajiban antara satu pihak dan pihak lainnya. Hak dan kewajiban ini tridak pertama-tama didasarkan pada kontrak tertentu, melaikan didasarkan pada kenyataan bahwa interaksi bisnis antara produsen dan konsumen adalah juga interaksi sosial, interaksi manusia dengan manusia.
Adanya hak pada konsumen atas dasar bahwa interaksi bisnis adalah interaksi manusia lebih berlaku lagi dalam interaksi bisnis antara penyalur dan konsumen atau pelanggan. Dalam transaksi ini jelas-jelas terlihat bahwa transaksi tersebut adalah suatu bentuk interaksi manusia.
Sebagaimana halnya dalam interaksi sosialmana pun, demi menjamin hak masing-masing pihak dibutuhkan dua perangkat pengendali atau aturan. Pada gtempat pertama, ada aturan moral yang tertanam dalamhati sanubari manusia dan seluruh masyarakat yang akan berfungsi mengendalikan dan memaksa diri dalam baik produsen atau pun konsumen untuk menghargai atau tidak merugikan hak dan kepentingan masing-masing pihak. Pada tempat kedua, perlu ada aturan hukum yang dengan sanksi dan hukumannya secara efektif mengendalikan dan memaksa setiap pihak untuk menghormati atau paling tidak merugikan hak dan kepentingan masing-masing pihak.
Kedua perangkat pengendali ini terutama tertuju pada produsen dalam hubungannya denagn konsumen, paling kurang karena dua alasan berikut. Pertama, dalam hubungan antara konsumen dan penyalur barang atau jasa tertentu pihak lain, konsumen atau pelanggan terutama semakin lemah dan rentan untuk dirugikan. Contoh konkret adalah konsumen di negara-negara barat sudah sangat kuat dalam tuntutannya akan produk yang perduli lingkungan. Namun, dibanyak negara berkembang realitas menunjukkan bahwa konsumen masih berada pada posisi lemah, dan karena itu perlu ada perangkat pengendali, khususnya aturan perundang—undangan demi mengamankan dan melindungi hak dan kepentingan kosumen.
Kedua, dalam kerangka bisnis sebagai sebuah profesi, konsumen sesungguhnya membayar produsen untuk menyediakan barang kebutuhan hidupnya secara profesional. Produsen dalam hal ini diandaikan adalah orang yang profesional dan yang karena itu bisa diandalkan dan dipercaya dalam menyedakan barang kebutuhan konsumen secara profesional karena satu dan lain alasan. Aturan ini sekaligus menggariskan kewajiban yang harus dipenuhi produsen (termasuk pemasok dan penyalur) terhadap konsumennya.
Aturan tersebut adalah, pertama produsen wajib memenuhi semua ketentuan yang melekat baik pada produk yang ditawarkan maupun pada iklan tentang produk itu. Kedua, produsen punya kewajiban untuk menyingkapkan semua informasi yang perlu diketahui oleh semua konsumen tentang sebuah produk. Semua fakta harus diungkapkan secara benardan tuntas, termasuk mengenai resiko keamanan dan keselamatan dalam menggunakan produk tertentu. Misalnya, produk mainan anak-anak. Harus jelas batas usia dan kemungkinan resiko yang bisa dihadapi.
 Ketiga, kewajiban untuk tidak mengatakan yang tidak benar tentang produk lain yang ditawarkan. Kewajiban ini lebih keras dari dua kewajiban lain diatas karena dalam mengatakan hal yang tidak benar tentang suatu produk sudah jelas-jelas terkandung dalam unsur penipuan. Pada dua kewajiban lain diatas, bisa saja ada unsur kelelaian tak sengaja (saat mencampur bahan baku, ada kekeliruan menghitung, atau ada kelupaan dalam menyampaikan informasi yang tidak terungkapkan).
Dari ketiga kewajiban diatas terlihat jelas bahwa informasi tentang produk memainkan peranan penting. Dalam banyak kasus, informasi adalah dasar bagi konsumen untuk memutuskan membeli sebuah produk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar